📫 Episode 9 – Lantai 3 yang Tidak Pernah Dinyalakan Lampunya

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Sekolah

Lantai 3 yang Tidak Pernah Dinyalakan Lampunya

Tidak ada yang menyadari kalau sekolah ini memiliki lantai ketiga—sampai seseorang mengaku melihat bayangan di balik jendela yang tak pernah dibuka.

Namaku Ananta. Dan aku bersumpah… aku pernah melihat cahaya dari lantai tiga Saka. Padahal semua orang bilang gedung itu hanya dua lantai.

Semua berawal dari tugas piket yang terlalu sore. Langit hampir hitam. Sekolah sudah lengang, sebagian besar kelas kosong. Aku sendirian di koridor lantai dua, sedang membereskan sapu dan mengembalikan alat pel ke ruang kebersihan. Ketika lewat depan jendela, aku menengadah. Dan kulihat—jelas sekali—cahaya putih kekuningan menyorot samar dari atas, dari tempat yang bahkan tidak punya tangga menuju ke sana.

Aku tidak bilang ke siapa-siapa malam itu. Tapi malam-malam berikutnya, aku mulai memperhatikan: setiap pukul 18.07, selalu ada cahaya samar dari tempat yang tidak ada di denah sekolah. Selalu satu titik. Tidak berpindah. Kadang hanya berkedip sebentar, kadang bisa lebih dari dua menit.

Aku sempat menulisnya dalam jurnal kecilku, yang sekarang kusimpan di dalam laci meja. Tanggal, waktu, dan durasi cahaya. Aku tahu apa yang kulakukan terdengar aneh. Tapi setelah apa yang terjadi dengan surat-surat itu—dan kelas yang diam pukul 13.17—aku tak bisa anggap ini hanya halusinasi.

Hingga suatu malam, setelah rapat OSIS selesai terlambat, aku memutuskan untuk tidak langsung pulang.

Sekolah sudah gelap. Langkahku pelan. Aku hanya membawa senter dari ponsel. Dan aku naik lagi ke lantai dua, berdiri di depan jendela itu. Menunggu.

Pukul 18.07.

Dan benar saja. Cahaya itu muncul lagi. Kali ini lebih terang. Seperti… lampu ruang kelas. Tapi tidak pernah ada kelas di atas itu. Tidak pernah. Kami semua tahu itu.

Aku membuka kamera ponsel, menzoom jendela itu—dan hampir menjatuhkan ponselku.

Ada seseorang berdiri di sana.

Bukan. Bukan bayangan. Bukan siluet samar.

Seseorang mengenakan seragam putih abu-abu, berdiri diam memandangi jendela dari dalam. Wajahnya tak jelas, tapi posturnya seperti... seperti siswa biasa.

Aku menahan napas. Tanganku gemetar. Aku mencoba mengabadikannya. Tapi saat jari menyentuh tombol kamera, cahaya itu padam. Jendela kembali gelap.

Aku tak bisa tidur malam itu. Esoknya, aku memutuskan bertanya ke Satpam sekolah, Pak Imas. Orangnya agak galak, tapi cukup terbuka kalau ditanya baik-baik.

"Pak," tanyaku waktu itu, "lantai tiga gedung Saka itu... dulunya pernah dipakai?"

Ia mengernyit, lalu tertawa. "Nggak ada lantai tiga, Nak. Gedung itu cuma dua. Emang dari dulu begitu. Paling yang kamu lihat tuh atap doang. Cahaya pantulan mungkin atau apa."

Tapi aku tahu matanya berubah ketika aku bilang soal jam 18.07.

Ia diam. Lalu buru-buru mengalihkan pembicaraan.

Aku makin yakin ada yang disembunyikan. Dan aku nekat.

Hari Jumat berikutnya, aku menyelundup masuk ke ruang tata usaha. Pura-pura mau pinjam printer. Di sana, aku melihat lemari arsip besar berlabel “RENCANA GEDUNG LAMA – 2003–2010”.

Satu map menarik perhatianku. Gambar cetak biru gedung utama sekolah: tiga lantai. Bukan dua.

Di lantai ketiga, ada tiga ruang kelas, satu lab, dan… ruang penyimpanan.

Tapi yang paling membuatku merinding adalah catatan kecil di pojok bawah gambar itu. Tulisannya dengan spidol merah:

Ditutup setelah insiden 17 Mei. Jangan izinkan siswa naik ke lantai 3. Kunci utama dipindahkan ke ruang kepala sekolah. Lampu dimatikan permanen.

Tanggal itu… 17 Mei. Aku ingat pernah melihat tanggal itu di salah satu surat tanpa nama yang kutemukan dulu. Surat yang entah kenapa berisi kalimat terputus, seperti seseorang mencoba menulis sesuatu di tengah kepanikan:

"Aku tidak tahu apakah besok kami masih bisa keluar dari ruangan ini. Lampunya mati, pintunya dikunci. Kami menunggu. Tapi tidak ada yang datang."
(17/05)

Aku menggigil. Apakah surat itu berasal dari lantai tiga? Apakah seseorang—atau beberapa orang—pernah dikunci di sana?

Aku mulai bertanya-tanya: mungkinkah yang kulihat malam itu adalah mereka? Yang masih… menunggu seseorang membukakan pintu?

Senin, aku memberanikan diri bercerita ke Alra, sahabatku yang selama ini ikut meneliti surat-surat itu. Wajahnya langsung tegang ketika mendengar “cahaya lantai tiga”.

"Aku juga pernah lihat," bisiknya. "Dari lapangan belakang. Tapi aku kira cuma pantulan. Kamu yakin itu lantai tiga?"

Aku mengangguk.

"Aku punya sesuatu," katanya lagi, lalu mengeluarkan sobekan kertas kusut dari dompetnya.

Itu potongan dari majalah dinding sekolah tahun 2010, yang ternyata ia temukan di perpustakaan saat bersih-bersih. Foto gedung lama sekolah—tampak jelas tiga lantai. Tapi seseorang mencoret-coret lantai ketiga dengan spidol hitam tebal. Di bawahnya ada tulisan tangan: "Mereka masih di sana. Jangan nyalakan lampunya."

Kami saling pandang. Tidak bicara. Tapi kami tahu—ini bukan hanya tentang cahaya. Ini tentang mereka. Tentang sesuatu yang dikunci, ditinggalkan, lalu dilupakan.

Malam itu, kami kembali ke sekolah. Dengan alasan menginap untuk persiapan lomba. Kami bawa senter, kamera, dan hati-hati agar tidak diketahui guru jaga.

Pukul 18.06, kami sudah berdiri di bawah jendela itu.

18.07.

Cahaya muncul. Tapi kali ini... bukan dari satu jendela.

Tiga jendela. Tiga titik. Semuanya menyala bersamaan.

Dan kali ini, kami melihatnya jelas: bayangan tangan di kaca. Mengetuk perlahan.

Tok. Tok. Tok.

Aku menahan napas. Langkahku goyah.

"Ada orang di dalam," bisik Alra.

Kami mencoba mencari tangga darurat. Tidak ada. Tapi di belakang gudang tua, ada pintu besi berkarat yang setengah tertutup. Kami mendorongnya.

Dan di sana—gelap, berdebu, tapi jelas—tangga ke atas.

Tangga menuju lantai yang sekolah ini coba sembunyikan.

Kami belum naik malam itu.

Tapi kami tahu, suatu saat nanti, kami harus masuk.

Dan mungkin… kami tidak akan bisa kembali dengan cara yang sama.

[bersambung]

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.