📫 Episode 10 – Loker Nomor 14 dan Lantai yang Tak Pernah Dipel

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Sekolah

Loker Nomor 14 dan Lantai yang Tak Pernah Dipel

Aku tidak pernah tertarik membuka loker yang bukan milikku. Tapi hari itu, aku berdiri diam di depan loker nomor 14. Bukan karena ingin, tapi karena loker itu... seolah memanggilku.

Lorong belakang gedung lama Saka selalu sepi. Lantai tegelnya kasar dan dingin. Di sana, deretan loker tampak tak terawat—seperti sisa-sisa masa lalu yang ditinggalkan begitu saja. Tapi anehnya, hanya satu loker yang terlihat bersih, seakan baru dipoles pagi ini: loker nomor 14.

Aku mencoba membenarkan semuanya secara logis. Mungkin ada petugas kebersihan yang sedang iseng membersihkannya. Tapi kenapa hanya satu?

Dan kenapa, saat aku berdiri lebih dekat, aroma bunga melati menyeruak begitu kuat dari sela pintunya?

Aku menyentuh gagang besinya. Dingin. Tapi tidak berdebu. Aku mendorongnya pelan. Tidak terkunci.

Isinya kosong. Tidak ada buku, tidak ada tas, tidak ada sepatu. Hanya selembar kertas kecil di dasar loker, terlipat menjadi empat, dengan tinta yang seolah baru ditulis.

"Jangan cari lantai itu. Tapi kalau kamu tetap nekat, bersihkan jejakmu sebelum pulang."

Aku merasa jantungku mencelos. Apa ini lelucon? Siapa yang tahu aku akan kemari? Atau… siapa yang ingin aku kemari?

Aku memeriksa sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Tapi langkah kakiku terasa seperti menggema lebih dari biasanya. Dan saat aku melirik ke bawah...

Lantai di depanku tidak kotor seperti biasanya. Justru terlalu bersih. Seperti baru saja dipel. Tapi bukan dengan bau karbol atau pembersih biasa. Bau melati. Sama seperti dari dalam loker.

Aku mulai sadar, ini bukan sekadar kejadian acak. Ini sambungan dari semua surat, semua peringatan, semua tanda. Aku tidak tahu apa yang tengah kucari, tapi semuanya seperti sedang membawaku ke sesuatu. Atau... ke seseorang.

Petunjuk pertama datang dari jurnal yang kutemukan minggu lalu. Jurnal itu, yang entah bagaimana muncul di meja kelas padahal sebelumnya tidak ada. Isinya aneh—bukan cerita, bukan catatan pelajaran, tapi semacam potongan logika dari seseorang yang sedang mencoba mengurai misteri. Tulisannya seperti ini:

"…Jika surat pertama muncul hari Rabu, dan tak ada balasan Kamis, maka hari itu harus dicoret. Tapi jika bangku nomor 9 kosong dan tetap dihitung hadir, siapa yang mengisi daftar kehadiran itu? Mungkin seseorang dari lantai lain. Lantai yang tidak terlihat. Lantai yang tidak pernah dipel. Tapi jejaknya... masih ada."

Aku menutup jurnal dengan perasaan merinding. Dulu aku kira semua ini hanya kebetulan. Tapi sekarang aku percaya: ada semacam pola.

Dan malam itu, aku nekat kembali ke sekolah.

Gedung belakang Saka sudah seperti rumah tua yang menolak mati. Tiap langkahku terasa bergema dua kali. Lantai ubin seperti menahan napas. Aku berjalan mengikuti bau melati. Sampai ke tangga darurat.

Di antara lantai dua dan tiga, ada celah kecil. Bukan pintu, tapi semacam panel dinding yang tak sepenuhnya tertutup. Di sanalah aku menemukan sesuatu yang tak masuk akal—sepotong kain pel lama, masih basah, bersandar seperti baru saja digunakan. Di sampingnya: bekas jejak sepatu yang tidak menuju mana-mana.

Aku menarik napas, dan mendorong panel itu.

Ternyata benar. Ada ruang di baliknya. Tangga kecil menurun, sempit dan gelap. Tidak terdata di denah manapun. Dan lebih aneh lagi: temboknya penuh goresan angka dan simbol seperti bekas catatan seseorang yang sudah kehilangan akal.

Satu tulisan membuatku berhenti.

"14 = 4 + 1 + 9 = 14"

Apa maksudnya? Kenapa angka 14 diulang-ulang?

Dan di bawahnya, dengan tinta merah:
"Mereka tahu siapa kamu, Ananta."

Dunia seakan berhenti. Siapa mereka? Siapa yang menuliskan ini? Dan sejak kapan aku menjadi bagian dari permainan ini?

Ruang itu membawa ke sebuah lorong sempit. Lampunya redup. Lantainya masih basah—bukan karena bocor, tapi benar-benar... habis dipel.

Di dinding, ada barisan foto. Puluhan, mungkin ratusan. Semua hitam putih. Semua wajah siswa.

Tapi satu yang membuatku mundur selangkah: fotoku sendiri. Aku sedang duduk di bangku kelas. Tapi bukan kelas kami sekarang. Ini… kelas yang tak pernah kulihat.

Dan yang lebih menakutkan, ada seseorang berdiri di belakangku dalam foto itu—bayangan tinggi, wajah kabur, seperti tak selesai dicetak. Tapi tangannya menyentuh bahuku. Seolah... pernah berdiri di sana.

Aku berbalik. Lorong itu tiba-tiba terasa lebih gelap. Jantungku berdetak tak karuan.

Dan saat aku mencoba melangkah mundur, satu suara berbisik dari ujung lorong, pelan namun tajam:

"Kau harus segera kembali ke atas. Lantai ini tidak boleh diingat terlalu lama."

Aku berlari. Menabrak dinding. Menendang pintu kayu tua. Nafasku memburu.

Ketika akhirnya aku kembali ke tangga utama gedung Saka, segalanya tampak normal. Tapi tidak ada lagi panel tersembunyi. Tidak ada tangga rahasia. Tidak ada kain pel.

Seolah lantai itu hanya eksis jika seseorang cukup nekat untuk percaya.

Keesokan harinya, aku kembali ke lorong loker. Nomor 14... tidak ada. Loker itu sudah tak ada di antara deretan besi karatan lainnya. Seperti diselipkan dari dimensi lain.

Aku bertanya pada satpam. Mereka bilang, loker nomor 14 sudah lama dibongkar. Sejak tahun 2009.

Dan loker itu... dulunya milik seorang siswa yang hilang tanpa jejak.

Namanya tercoret dari daftar. Tapi foto wajahnya—aku melihatnya di lorong bawah tanah kemarin malam. Di sebelah fotoku.

Aku duduk sendiri di kelas sekarang. Ananta, siswa biasa di sekolah biasa. Tapi dunia di sekitarku sudah berubah. Terlalu banyak hal yang tak bisa dijelaskan.

Terlalu banyak lantai yang tak pernah dipel.

Dan terlalu banyak jejak yang sudah kutinggalkan.

Mungkin aku tak seharusnya membukanya. Tapi sekarang, semuanya sudah dimulai. Dan aku tahu… belum semuanya terungkap.

🕰 Bersambung ke Episode 11: "Surat Terakhir Datang Tanpa Tinta"

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.