Episode 11. Surat Terakhir Datang Tanpa Tinta - Surat-surat Tanpa Nama
📫 Surat-surat Tanpa Nama
Surat Terakhir Datang Tanpa Tinta
Aku menemukannya di laci mejaku, pagi itu. Secarik kertas kosong, tak ada tinta, tak ada lipatan, tak ada bekas tangan. Tapi entah mengapa aku tahu—itu adalah surat. Surat terakhir.
Ada sesuatu yang berubah di Saka sejak minggu lalu. Bukan hanya hujan yang turun tanpa peringatan atau lampu aula yang berkedip meski listrik tak padam. Tapi wajah-wajah di lorong, suara langkah yang menggema terlalu lama, dan jam dinding yang tak pernah benar.
Aku membuka kembali catatanku. Semua surat, dari yang pertama hingga yang tak bernama. Ada pola, aku tahu. Tanda baca yang keliru, jejak waktu yang tidak linear, nama-nama yang selalu hadir tapi tak pernah ada dalam daftar siswa. Semuanya mengarah ke satu titik: hari ini. Hujan turun semalaman, dan pagi ini embun tak juga hilang meski bel telah berbunyi tiga kali.
Aku duduk di kelas seperti biasa, tapi hatiku tidak di sini. Ia ada di surat terakhir itu—yang tak punya tinta. Aku menunggunya bicara. Dalam diamnya, aku menunggu rahasia besar yang menuntunku sejak Rabu itu.
Lalu, jam kelas berhenti. 13.17.
Suara dari koridor datang seperti gema dari lorong waktu yang terlipat. Dan di sana, pada papan pengumuman yang sudah lama tak diganti, kulihat sesuatu yang baru: sebuah jurnal tua, ditempelkan diam-diam. Sampulnya coklat lusuh, dan dengan huruf timbul hampir terkelupas, tertulis:
JURNAL PENGAMATAN WAKTU DI SAKA Tahun 1998–1999 —Unit Penelusuran Fenomena Temporal
Aku tak menunggu siapa pun melihat. Kuambil jurnal itu, kututup ranselku, dan pergi. Ke tempat yang seharusnya tak pernah dikunjungi: lantai tiga.
Tangga ke lantai tiga sudah dipalang sejak aku kelas X. Katanya, langit-langitnya rapuh dan lantainya tak pernah dipel. Tapi aku tahu, bukan itu sebabnya. Di Saka, cerita yang dilarang bukan berarti tidak pernah terjadi—hanya tidak boleh dikenang.
Langkahku menyesap debu. Bau pelapukan, besi karat, dan sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri menyelimuti udara. Aku berhenti di depan pintu bekas laboratorium tua. Ada simbol aneh di atasnya, seperti stempel kuno atau huruf tua yang tak diajarkan.
Jurnal itu berat di tanganku, seperti menyimpan lebih dari sekadar tulisan. Kubuka halaman pertamanya.
Hari ke-3. Fenomena tetap berulang pukul 13.17. Kali ini siswa bernama W.A tidak muncul setelah pelajaran keempat. Namun buku catatannya masih tergeletak di meja. Surat muncul 7 menit kemudian di bawah kursi. Kosong. Tapi tercium bau hujan.
Aku tercekat. W.A?
Aku melihat kembali surat terakhir itu. Kertasnya lembap. Seperti… baru dibuka di tengah hujan. Dan kini huruf-huruf samar mulai muncul, nyaris tak terlihat tapi mulai terbaca jika kau cukup bersabar.
“Jangan percaya bel yang berbunyi ketiga kali. Itu bukan untukmu.”
Aku menggigil.
Kubuka halaman jurnal berikutnya. Hari ke-7. Kami menemukan pola pada loker nomor 14. Setiap kali surat hilang, ada suara ketukan dari dalamnya. Siswa yang menyentuhnya akan mengalami kehilangan ingatan 15 menit terakhir sebelum surat menghilang. Tapi mereka semua bermimpi tentang hal yang sama: Lorong dengan jendela yang tak bisa dibuka. Dan seseorang yang duduk membelakangimu di bangku nomor 9.
Aku berhenti membaca. Jantungku berdetak cepat.
Aku pernah melihatnya. Lorong itu. Bangku nomor 9.
Seseorang pernah duduk di sana, aku yakin. Tapi tak ada nama dalam absen. Dan setiap kali kutanya, guru hanya bilang: “Mungkin kamu salah lihat.”
Tidak, aku tidak salah lihat.
Suara langkah menghentikanku. Lembut tapi pasti, seperti bukan berasal dari sepatu. Aku menutup jurnal itu dan berbalik.
Tak ada siapa-siapa.
Tapi di meja laboratorium, surat itu sudah terbuka. Huruf-hurufnya kini terbaca jelas. Dan aku tahu: ini bukan surat untukku, tapi tentangku.
Ananta. Kau sudah terlalu dekat. Kertas ini tak akan bertahan sampai malam. Tapi jika kau ingin tahu kenapa semuanya bermula, buka kembali loker 14. Letakkan surat ini di dalamnya. Dan tinggalkan gedung sebelum jam 13.17.
Tinta surat menghilang sesudah kutulis ulang. Tapi aku tak perlu membacanya dua kali.
Aku turun ke lantai dua, ke lorong tempat loker-loker tua itu berada. Loker 14 ada di ujung, dekat jendela yang selalu berembun. Aku menyentuh gagangnya—dingin seperti logam yang tak pernah disentuh manusia.
Saat kubuka, surat itu mulai basah. Meski tak ada hujan. Dan dari dalam loker itu, ada embusan udara hangat, seperti… napas seseorang yang sedang menunggu.
Kupasang surat itu di dalamnya.
Dan seketika, semuanya jadi hening. Bel tidak berbunyi. Langkah kaki di lorong menghilang. Suara kelas di seberang lenyap. Hanya detak jantungku dan rasa bahwa aku sedang dilihat dari tempat yang sangat jauh, atau sangat dekat.
Pintu loker menutup sendiri.
Aku lari.
Tak peduli siapa yang melihat. Tak peduli apa pun yang akan datang.
Malamnya, aku menunggu hujan.
Seperti dalam catatan jurnal itu: surat terakhir hanya bisa dibaca saat hujan turun.
Pukul 22.03, langit pecah.
Dan di mejaku, surat itu muncul lagi. Tapi kali ini, dengan tinta merah tua, seperti darah kering atau mimpi yang terlalu lama disimpan.
_Ananta, Kami sudah memperingatkanmu sejak surat pertama. Tapi kamu tetap membaca. Tetap mencatat. Tetap mencari. Maka ini bukan peringatan, tapi undangan. Hari Kamis. Di ruang yang tak ada dalam denah sekolah. Jangan bawa siapa pun. Dan bersiaplah kehilangan sesuatu. Sesuatu yang tidak bisa kamu tulis ulang._
Malam itu, aku tidak tidur.
Karena mungkin, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku benar-benar takut pada surat yang tidak menyebutkan siapa pengirimnya—tapi tahu semua tentangku.
– Bersambung Episode 11 –
.png)

Post a Comment
0 Comments