📫 Episode 12 – Hujan di Hari yang Tidak Terjadwal

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Hujan

Hujan di Hari yang Tidak Terjadwal

Langit Saka selalu punya jadwalnya sendiri. Matahari muncul sepagi biasanya, dan hujan turun hanya saat jam pelajaran terakhir usai, seolah tahu diri untuk tidak mengganggu. Tapi akhir-akhir ini, hujan datang seenaknya. Di hari-hari yang mestinya cerah. Di pagi hari yang mestinya kering. Bahkan di dalam kelas, suara tetes air seperti mengikuti langkah seseorang yang tidak bisa terlihat.

Ananta mulai mencatat setiap kali hujan datang, dan mencocokkannya dengan tanggal surat-surat misterius itu muncul. Dan dari catatan kecil di bukunya yang digambar bunga kering di halaman depan, satu hal menjadi jelas: hujan selalu turun ketika surat-surat itu datang.

“Ini sudah yang keenam,” gumamnya, memandangi jendela kelas yang berkabut. Tak ada suara petir, hanya rinai air yang jatuh seperti bisikan, menyentuh genting dengan irama tak pasti. Di luar, langit abu-abu—tapi tak mendung. Seperti awan yang terlalu malu untuk mengaku bahwa ia sedang menangis.

Surat itu muncul di loker meja depan, tempat duduk yang sudah lama kosong karena penghuninya pindah sekolah sejak semester lalu. Ananta tahu persis siapa yang dulu duduk di sana—Andaru, si murid pendiam yang hilang tanpa kabar. Anehnya, sejak kepergiannya, surat-surat itu selalu muncul di laci mejanya.

Kali ini, suratnya dibungkus kertas coklat lusuh dengan bekas lipatan yang sangat hati-hati. Tulisannya lagi-lagi sama, dengan goresan pena hitam yang seperti ditulis sambil menahan napas:

“Tidak semua yang basah karena hujan itu hidup. Terkadang, yang mati pun masih bisa menangis.”

Ananta merinding. Ia menyentuh kertas itu dengan jari-jari yang agak gemetar. Setiap surat seolah punya kesadarannya sendiri, muncul hanya saat ia sendirian, dan selalu meninggalkan jejak: ruangan yang basah padahal atapnya tidak bocor, lantai licin padahal tak ada satu pun ember air, dan suara langkah di lorong ketika tidak ada siapa-siapa.

Ia memutuskan satu hal: mengikuti jejak hujan.

Hari Jumat sore, saat langit bersinar terang, tiba-tiba gerimis turun di tengah lapangan basket. Hujan yang tidak masuk akal, sebab tidak ada awan di atas kepala. Tapi tanah basah. Dan di depan gedung utama Saka, ada seorang siswa berdiri di bawah hujan itu—tapi tubuhnya tidak pernah benar-benar basah.

Ananta memperhatikannya dari balik jendela lantai dua. Siswa itu mengenakan seragam lengkap, wajahnya tertutup bayangan rambut, dan ia berdiri mematung seperti patung marmer. Seperti orang yang menunggu sesuatu yang tidak akan pernah datang.

Dia langsung turun.

Berjalan cepat menyusuri lorong, menuruni tangga dengan langkah berdebar. Tapi saat sampai di bawah—anak itu sudah tidak ada. Hanya hujan yang menyisakan jejak air menuju koridor belakang. Ke arah ruang musik yang sudah ditutup karena renovasi bertahun-tahun. Ananta ragu, tapi kaki terus melangkah.

Pintu ruang musik itu terbuka sedikit. Bau kayu tua dan karpet lembab menyambutnya saat ia masuk. Tidak ada siapa-siapa. Hanya sebuah piano tua di pojok ruangan. Dan… sesuatu yang lain.

Sebuah surat. Basah. Tapi tulisannya masih terbaca.

“Apa kau pernah merasa bahwa waktu bisa salah jalan? Seperti hari Rabu yang datang setelah Sabtu. Seperti aku yang berdiri di depanmu, tapi tidak pernah bisa kau lihat benar-benar.”

Ananta memegang surat itu erat. Kali ini, ia merasa sedang diajak berbicara. Bukan oleh hantu. Tapi oleh seseorang yang masih ada. Atau setidaknya… masih berusaha untuk ada.

Dan hujan di luar jendela masih turun. Tapi hanya di sekitar ruang musik. Tidak lebih dari sepuluh meter. Selebihnya kering.

Sejak saat itu, hujan di hari yang tidak terjadwal menjadi petunjuk. Ananta mulai menandainya di peta sekolah yang ia salin dari ruang TU. Setiap area yang basah ia beri lingkaran merah. Dalam seminggu, terbentuk pola yang tidak bisa dibantah: titik-titik itu membentuk huruf.

Huruf-huruf acak yang berubah setiap hari. Tapi semakin lama, semakin jelas: nama. Seseorang mencoba menulis nama di tanah sekolah melalui hujan.

“D-A-R-U,” gumam Ananta suatu sore. Ia berdiri di balkon lantai dua. Hujan hanya turun di atas taman depan.

DARU. Nama panggilan Andaru.

Ananta tahu ini bukan kebetulan. Tapi siapa yang menulisnya? Dan kenapa lewat hujan?

Di balik semua itu, ia kembali teringat sesuatu: satu surat yang tidak pernah sempat dibaca. Surat dari Hari Rabu—surat pertama yang ia temukan, yang kini sudah basah dan tersimpan di bawah bantalnya. Saat ia membacanya kembali malam itu, tinta di halaman belakang muncul samar-samar. Seperti pesan tersembunyi.

“Jika aku tidak sempat bicara padamu, maka biarkan langit yang mengatakannya.”

Ananta duduk membeku. Setetes air hujan jatuh dari langit-langit kamarnya, padahal plafon tidak bocor. Ia membuka jendela dan melihat ke luar. Hujan hanya turun di atap rumahnya.

Hari berikutnya, langit Saka cerah seperti biasa. Tapi Ananta tahu itu hanya jeda. Ia merasa bahwa hujan berikutnya akan mengungkap sesuatu yang lebih besar. Maka ia menyiapkan diri—membawa payung, buku catatan, bahkan ponsel untuk merekam suara jika perlu.

Dan benar. Pukul 13.17, suara hujan mengguyur bagian belakang sekolah. Ruang praktik Teknik pendinginan.

Ia berlari ke sana. Di bawah hujan yang sangat lokal—hanya seluas satu mobil—ia menemukan bekas tapak kaki, dan sebuah surat basah menempel di kaca jendela. Surat itu hanya satu kalimat:

“Jangan percaya semua yang kau lihat, bahkan langit pun bisa berbohong.”

Itu bukan peringatan. Itu pengakuan. Ada yang memanipulasi semua ini. Mungkin bukan arwah. Mungkin bukan kutukan. Tapi seseorang—entah manusia atau bukan—sedang mengatur tiap hujan, tiap surat, tiap ketidaksengajaan yang terjadi.

Dan malam itu, Ananta mimpi seseorang duduk di sebelah ranjangnya. Tak bisa dilihat, hanya terasa. Suara hujan di luar begitu dekat, seakan turun langsung dari langit-langit kamar. Dan seseorang membisikkan sesuatu:

“Besok… jangan datang ke sekolah.”

🜃 Bersambung ke Episode 13: Perpustakaan Tertutup, Tapi Seseorang Membaca di Dalam…

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.