📫 Episode 13 – Perpustakaan Tertutup, Tapi Seseorang Membaca di Dalam

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Perpustakaan

Perpustakaan Tertutup, Tapi Seseorang Membaca di Dalam

Hari itu mendung. Bukan mendung biasa. Langit seperti kanvas kelabu yang tak mau retak, seolah waktu tertahan di antara siang dan sore. Ananta berdiri di depan pintu perpustakaan sekolah Saka. Gagang pintu itu dingin, berkarat, dan… terkunci.

Namun dari dalam, terdengar suara halaman dibalik. Lembut, teratur, seperti seseorang sedang membaca pelan-pelan. Tak ada yang seharusnya berada di dalam. Kepala perpustakaan sedang cuti, dan guru piket jelas mengatakan ruang itu dikunci sejak dua minggu lalu karena renovasi saluran listrik di atapnya.

Tapi suara itu ada.

Dan tidak hanya suara. Kadang, buku jatuh sendiri dari rak—dan ketika ia mencoba melihat lewat celah jendela kaca berdebu, Ananta melihatnya: bayangan seseorang duduk di kursi baca pojok, bagian yang paling dekat dengan rak majalah usang. Hanya siluetnya, tidak pernah utuh. Tidak pernah bergerak kecuali tangannya yang membalik halaman.

Selama dua hari terakhir, Ananta diam-diam kembali ke sana tiap pulang sekolah. Menunggu. Mendengar. Kadang ia bahkan mencoba mengetuk pintu, menyapa lirih, “Halo?” tapi tidak pernah mendapat jawaban. Hanya halaman demi halaman yang terus terbalik.

Hari ketiga, Ananta menemukan sepucuk kertas terselip di bawah pintu. Kertas itu penuh coretan tangan, tidak rapi, huruf-hurufnya memanjang seperti terpaksa ditulis cepat. Isinya hanya satu kalimat:

“Jangan baca yang tidak ingin kamu ingat.”

Ananta menatap kertas itu lama. Lalu memasukkannya ke dalam saku, seperti menyimpan rahasia yang tak tahu kapan akan membocor.

Pagi berikutnya, ia mendatangi ruang OSIS. Di sana ada Bagas, anak yang dikenal paling dekat dengan penjaga kunci dan akses ruang di sekolah. Ananta tak menyukai Bagas. Terlalu banyak omong, terlalu percaya diri, tapi ia butuh sesuatu: salinan kunci perpustakaan.

“Kenapa kamu pengen masuk?” tanya Bagas, melipat lengannya di dada.

Ananta memutar otak. “Aku cari buku arsip edisi tahunan. Buat bahan lomba tulis.”

Bagas memicingkan mata. Lalu menghela napas. “Oke. Tapi jangan bilang siapa-siapa. Besok aku kasih.”

Ia memberikannya sore itu juga.

Pintu perpustakaan terasa lebih berat dari yang ia kira. Deritannya menelan seluruh suara di koridor. Saat pintu terbuka, aroma debu tua, kertas, dan jamur tipis menyambut. Ruangan itu gelap. Lampu tak menyala, dan hanya cahaya samar dari jendela yang menembus tirai abu-abu membuat semuanya terlihat seperti dunia lain yang dilupakan.

Tapi tidak ada siapa pun di sana.

Rak-rak berjajar seperti prajurit tua. Meja baca penuh jejak kertas, beberapa bahkan masih terbuka seperti ditinggal terburu-buru. Tak ada bayangan, tak ada suara halaman dibalik. Hening. Bahkan terlalu hening.

Hingga ia sampai di pojok ruangan.

Ada satu buku terbuka. Di mejanya ada cangkir kosong berdebu. Di sebelahnya, secarik kertas lain bertuliskan:

“Kau sudah masuk. Kau tak akan keluar sebelum membaca.”

Ananta gemetar. Ia mundur selangkah, lalu dua, tapi di belakangnya pintu tiba-tiba tertutup—sendiri. Ia berlari, menarik gagangnya—terkunci.

Dari belakang rak, suara langkah perlahan muncul. Tak terburu-buru. Tenang. Dan kemudian… seseorang menyanyikan lagu.

Bukan lagu modern. Bukan juga lagu anak-anak. Tapi lagu yang sama persis seperti yang sering diputar di ruang UKS saat ia masih kelas 7. Lagu itu hanya diputar dua kali—pertama, saat temannya meninggal karena serangan jantung di sekolah. Kedua… saat seseorang menghilang.

Ananta menahan napas.

Kemudian ia sadar—buku yang terbuka di hadapannya bukan sembarang buku. Itu buku arsip siswa. Tapi bukan edisi biasa. Tahun-tahun di dalamnya bukan tahun ajaran seperti biasa: tertulis 2025–2026 (Batal), 2023–2024 (Hilang), 2022–2023 (Dihapus).

Dan di dalam daftar nama siswa… ada satu nama yang membuat darahnya berhenti mengalir.

Ananta P.

Baris kecil di bawahnya: “Status: Belum Pernah Mendaftar. Tapi Pernah Hadir.”

Ia menggigil. Ia tahu betul bahwa ia adalah siswi resmi sekolah Saka. Ia ikut MOS, ikut UTS, bahkan pernah menang lomba. Tapi dalam buku resmi ini, ia tidak tercatat. Tidak eksis. Tapi ada yang lebih aneh: di bawah halaman itu, seperti tinta yang baru saja mengering, muncul kalimat baru:

“Mereka yang membaca, akan dilupakan. Mereka yang dibaca, akan kembali.”

Langkah-langkah itu mendekat. Ia bisa mendengarnya jelas kini. Dan lagu tadi… mulai terdengar dari pengeras suara di langit-langit. Seperti suara dari mimpi buruk yang pernah ia lupakan.

Ananta tak tahan lagi. Ia meraih buku itu dan melemparnya ke lantai. Saat itu juga semua suara berhenti. Lagu, langkah, bahkan detik jam dinding yang sebelumnya berdetak samar. Sunyi.

Dan kemudian, pintu terbuka sendiri.

Ia berlari keluar, mengabaikan teriakan dari dalam yang sempat terdengar seperti namanya dipanggil. “Ananta… kamu belum membaca semuanya…”

Hari itu, Ananta demam. Ia tak masuk sekolah selama tiga hari. Tapi bukan itu yang membuatnya tak bisa tidur. Melainkan satu hal kecil yang berubah begitu ia kembali ke kelas.

Di papan absensi, namanya dicoret. Digantikan oleh nama yang tidak dikenalnya.

Dan teman-temannya—seolah—tidak pernah ingat siapa dirinya. Bahkan wali kelas hanya menatapnya dan berkata, “Maaf, kamu murid pindahan?”

Ananta berdiri di depan pintu kelas yang dulu adalah miliknya, dengan tangan gemetar, dan rasa takut yang tak bisa ia beri nama.

Dari kantong bajunya, kertas lusuh jatuh ke lantai. Yang dulu ia temukan di bawah pintu perpustakaan.

“Jangan baca yang tidak ingin kamu ingat.”

Di baliknya, ada tulisan baru.

“Tapi sekarang kamu sudah tahu. Dan mereka tidak akan melupakanmu.”

🜃 Akan bersambung dalam Episode 14…

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.