📫 Episode 8 – Aku Pernah Ada di Foto Ini, Tapi Sekarang Tidak

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Foto Hilang

Aku Pernah Ada di Foto Ini, Tapi Sekarang Tidak

Langit pagi di Saka tampak pucat, seolah semalam tidak sempat tidur. Ananta berdiri di depan lemari koridor dekat ruang guru, tempat majalah dinding dipajang. Di balik kaca yang buram oleh usia dan debu, deretan foto kegiatan sekolah menatap kembali padanya. Tapi hari ini, satu foto membuatnya menahan napas.

Itu foto dari acara pentas seni dua tahun lalu. Ananta tahu persis ia ada di sana. Ia ingat dengan jelas rok kotak-kotak birunya, pita putih di rambut, dan tangan yang memegang mikrofonnya erat-erat di tengah panggung. Tapi hari ini, dalam foto itu, dirinya tidak ada.

Ia memicingkan mata, mendekat, menempelkan wajah ke kaca. Satu per satu wajah temannya masih ada. Farel, Siva, bahkan guru pembimbing mereka, Bu Intan, masih berdiri di tempat yang sama seperti dalam ingatannya. Tapi ruang kosong di tengah, tempat Ananta seharusnya berdiri—kosong.

Seolah tidak pernah ada.

Ananta menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya. Tangannya bergetar saat mencoba membuka lemari kaca itu, tapi terkunci. Ia memotret foto itu diam-diam, menyimpannya dalam galeri ponsel.

Dan sejak pagi itu, ia merasa... semakin banyak hal yang menghilang darinya.


Kelas tampak biasa, tapi Ananta menyadari satu hal: meja tempatnya biasa duduk di belakang, dekat jendela, telah digeser. Seolah tidak ada yang pernah mengklaim tempat itu. Tasnya yang diletakkan di situ pagi-pagi kini berada di lantai.

"Aku tadi taruh di sini," gumam Ananta.

"Di mana?" tanya Siva yang lewat.

"Bangku belakang."

Siva mengernyit. "Emang kamu duduk situ? Bukannya kamu biasanya di depan, sebelah Icha?"

Ananta diam. Ia tidak pernah duduk di depan. Ia bahkan selalu menghindari duduk dekat Icha karena suara pensilnya yang berisik.

Di koridor, nama Ananta masih ada di papan pengumuman pengurus OSIS. Tapi saat dia menanyakan agenda rapat, ketua OSIS hanya menjawab, “Kamu bukan pengurus, 'Kan?”

“Ya ampun, Ananta. Nggak lucu,” katanya sambil berlalu.

Ananta berdiri lama di depan papan itu. Namanya memang tercetak jelas, lengkap dengan jabatan: Koordinator Dokumentasi. Tapi... tidak ada satu pun yang ingat.


Saat istirahat, ia mengendap masuk ke ruang multimedia. Ruang itu biasanya kosong, tapi hari ini lampu menyala. Di dalamnya, seorang siswa dari kelas editing duduk membelakangi, membuka file lama dari kegiatan sekolah. Ananta mengenalnya—Tomi, teman seangkatan dari kelas TKJ.

“Tom, kamu simpan dokumentasi pensi dua tahun lalu, nggak?”

Tomi menoleh setengah ragu, lalu mengangguk. “Ada, bentar. Tapi… kenapa?”

“Cuma pengin lihat. Aku ingat banget hari itu,” katanya, mencoba tersenyum.

Tomi membuka folder-folder, mengklik satu file bernama pensi_saka_2023.mov. Video mulai diputar. Ananta menyaksikan layar lebar yang menggantung di depan. Musik keras, sorak sorai. Dirinya seharusnya tampil di menit ke-6.

Dan memang benar, ketika detik itu tiba, kamera menyorot panggung utama.

Farel dan Siva bernyanyi di sisi kiri dan kanan. Tengah panggung kosong. Mikrofon berdiri sendiri. Lagu tetap dimainkan, seolah seseorang sedang bernyanyi—tapi tidak ada siapa pun.

Ananta merasa jantungnya tenggelam.

Tomi memelototi layar. “Aneh. Dulu aku ingat banget, ada yang tampil nyanyi solo. Tapi di sini… kosong.”

“Coba buka file mentahannya,” pinta Ananta cepat. “Footage asli, jangan yang udah diedit.”

Tomi membuka folder lain, memutar ulang. Kali ini, video tampak goyah, dengan suara-suara dari penonton. Kamera sempat mengarah ke tengah panggung.

Kosong. Lagi-lagi kosong.


Malam itu, Ananta duduk di kamar dengan ponsel di tangan. Ia menatap foto digital dari majalah dinding. Zoom. Cek ulang. Tidak ada dirinya.

Ia membuka aplikasi galeri, lalu menggulir ke foto-foto lama. Semua yang seharusnya menampilkan dirinya—hilang.

Foto liburan ke pantai bersama teman? Dirinya tak terlihat. Foto saat perayaan ulang tahun sekolah? Ia tidak ada. Bahkan foto selfie dengan Bu Intan—yang dulu pernah diunggah ke Instagram—menjadi seolah hanya potret Bu Intan dengan latar kosong.

Ia menatap cermin.

Wajahnya masih ada. Tapi dunia seolah sedang mencopotnya dari sejarah.


Hari berikutnya, ia kembali ke sekolah dengan kantong mata yang gelap. Ia ingin memastikan satu hal lagi—buku tahunan.

Di perpustakaan, ia meminta izin untuk melihat arsip buku tahunan dua tahun lalu. Petugas tampak heran, tapi mengizinkan.

Ia duduk di pojok, membuka lembar demi lembar.

Dan di situ, di halaman ‘Kelas X, seharusnya ada foto dirinya. Tapi tidak. Semua nama ada. Semua wajah. Ananta tidak.

Tidak hanya wajahnya—namanya pun hilang.


Sore itu, ia pergi ke loker di lantai dua., miliknya sejak masuk Saka. Ia memutar kombinasi angka.

Di dalamnya, hanya ada satu benda—sebuah kertas yang terlipat rapi.

Ia membukanya dengan perlahan. Tulisan tangan itu… bukan miliknya. Tapi anehnya, ia mengenali gaya hurufnya. Seperti tulisan seseorang yang pernah sangat dekat dengannya.

"Kamu akan lupa siapa dirimu, saat semua orang berhenti mengingatmu. Jangan biarkan mereka mengambil hari Rabu."

Ananta membeku.

Hari Rabu. Hari saat ia pertama kali menerima surat itu. Surat tanpa nama.

Ia meraih catatan kecil dari tas, menulis ulang kutipan itu, mencoba menghubungkan semuanya—foto yang menghilang, ingatan yang pudar, surat yang lenyap, dan waktu yang beku.

Semuanya… saling terikat.

Tiba-tiba, ia merasa seolah tak sendirian. Di belakangnya, sepasang mata mengawasi dari jendela.

Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi di kaca jendela yang buram, ada satu jejak jari.

Dan untuk pertama kalinya, jejak itu menuliskan sesuatu:

"13.17. Hari Rabu. Surat belum selesai."

Ananta merasakan ketakutan yang dingin merayap di tengkuknya.

Seseorang… atau sesuatu, sedang menghapusnya perlahan. Tapi untuk alasan apa?

Ia tahu satu hal: jika ia berhenti menulis, jika ia berhenti mengingat, maka mungkin… ia akan benar-benar hilang. Dan tak akan ada siapa pun yang tahu ia pernah ada.


[bersambung]

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.