Episode 7. Tanda Baca yang Salah di Surat Itu - Surat-surat Tanpa Nama
📫 Surat-surat Tanpa Nama
Tanda Baca yang Salah di Surat Itu
Aku baru saja selesai menyusun lembar tugas kelas 11 saat menemukan sebuah surat lain di laci mejaku. Laci yang sama, tempat yang sama. Tapi kali ini, tidak ada amplop cokelat atau segel lilin seperti biasanya. Hanya selembar kertas kusut, tampak seperti dicabik dari buku catatan.
Tulisan tangannya tidak seindah surat-surat sebelumnya. Tapi satu hal menarik perhatianku: tanda titik dua yang salah letak. Kalimat pembuka surat itu seperti ini:
“Untuk Ananta: Aku tahu kamu belum berhenti mencarinya”
Tanda titik dua setelah kata Ananta itu aneh. Tidak hanya secara tata bahasa, tapi entah kenapa terasa... janggal. Seperti kode. Aku membaca ulang surat itu, dan di setiap paragraf, selalu ada kesalahan tanda baca yang seragam. Tanda titik dua muncul di tempat yang seharusnya koma. Bahkan ada yang ditaruh sebelum kata sambung.
Seolah seseorang sengaja menanamkannya di sana.
Aku mulai menyalin semua surat sebelumnya. Dari Hari Rabu, Kamis yang tak pernah membalas, bangku kosong nomor 9, jam yang membeku di 13.17, hingga surat terakhir yang hanya bisa dibaca saat hujan. Aku memeriksa satu per satu. Dan perlahan, aku sadar bahwa kesalahan tanda baca itu tidak terjadi satu kali saja.
Itu pola.
Aku mengambil spidol dan kertas kosong, menuliskan huruf-huruf yang muncul setelah setiap titik dua yang janggal itu. Hanya huruf pertamanya. Kalimat pertama, huruf A. Kalimat kedua, huruf D. Lalu A, lalu K, lalu S.
ADAK SESUATU
Rambutku meremang.
Aku teruskan. Pola itu tidak selalu membentuk kata yang jelas, tapi sesekali muncul seperti suara samar yang mencoba memanggil. Seperti: PINTU DI LANTAI TIGA, atau JAM TIDAK BERHENTI KARENA RUSAK.
Aku mendekap semua surat itu ke dada. Nafasku terasa pendek. Aku tahu ini bukan hanya perasaan takut. Ini sudah jadi semacam... pertanda. Bahwa apa pun yang menuliskan surat-surat itu—siapa pun mereka—sedang mencoba menyampaikan sesuatu. Tapi kenapa harus lewat kesalahan tanda baca?
Esoknya, aku bertemu Bu Raras, guru bahasa Indonesia, dan dengan sedikit alasan menyamar, aku bertanya soal surat-surat formal dan kesalahan tanda baca.
“Kesalahan itu tidak selalu ketidaksengajaan, Ananta,” katanya sambil meneguk kopi. “Di zaman dulu, kode rahasia kadang ditulis lewat titik, koma, atau bahkan spasi yang salah. Terutama saat pengirim tidak bisa menulis pesan secara gamblang. Misalnya... saat diawasi.”
Dia menatapku tajam. “Kenapa kamu bertanya hal seperti ini?”
Aku diam. Jantungku berdetak tak karuan.
Aku kembali ke ruang kelas sore harinya. Langit di atas Saka mulai berubah jingga. Ruangan kosong. Lampu tak dinyalakan. Aku mengeluarkan kembali semua surat yang aku simpan di kotak buku. Aku baca ulang dengan senter kecil dari HP. Kali ini, aku mencoba membaca surat bukan sebagai pesan biasa—tapi sebagai nota tersembunyi.
Dan di surat pertama—yang aku kira tidak aneh sama sekali—aku melihatnya. Tanda titik dua, sama letaknya, di kalimat kedua.
“Jika kamu membaca ini: jangan pernah menjawabnya”
Dulu aku pikir itu hanya gaya penulisan. Tapi sekarang aku tahu, titik dua itu adalah perintah. Sebuah kode. Dan yang lebih menyeramkan: di surat keempat, yang menceritakan soal jam 13.17 yang selalu berhenti, ada kalimat:
“Jam itu berhenti: karena seseorang ingin menyembunyikan sesuatu”
Bukan “karena rusak”. Tapi seseorang. Seseorang.
Aku menuliskan semua yang kutemukan di buku jurnal kecil yang kugembok di dalam tas. Aku tak tahu siapa yang bisa dipercaya. Bahkan aku mulai curiga pada Sugab, penjaga sekolah yang suka tersenyum setiap aku melintas. Terlalu sering dia ada di tempat yang sepi. Terlalu sering pula dia melihatku seakan tahu apa yang kulakukan.
Yang aneh adalah, sejak surat kelima, tak ada satu pun surat baru yang muncul. Bahkan saat hujan kemarin turun deras sekali, aku sengaja menunggu di perpustakaan kosong. Tapi tidak ada surat.
Hanya suara halaman buku yang dibalik.
Aku lari keluar.
Hari ini, aku duduk di taman belakang Saka. Mencoba menulis surat balasan. Tapi aku tidak tahu kepada siapa harus kukirim. Aku hanya menulis:
Jika kamu mendengar ini: aku masih membaca
        Jika kamu masih hidup: tolong beri tahu aku
        Jika kamu terjebak: aku akan mencari jalan
Lalu, untuk pertama kalinya, aku menaruh surat itu di balik papan pengumuman kecil yang retak di sudut selasar belakang.
Tempat yang kulihat dalam salah satu petunjuk tanda baca: DI BALIK PENGUMUMAN ADA NAMA-NYA
Esoknya, saat aku kembali, suratku sudah tidak ada.
Tapi gantinya, ada secarik kertas kecil diselipkan di bawahnya. Hanya satu kalimat:
Kamu akhirnya membaca seperti mereka yang lenyap. —N
Nama itu—N. Itu bukan nama seseorang yang kukenal. Tapi aku teringat sesuatu. Di ruang arsip Saka, di bagian daftar siswa alumni yang tidak lulus, ada satu lembaran kertas tua, robek di ujungnya. Di sana tertulis:
Nama: N. R—
        Status: Mengundurkan diri (hilang sejak 2003)
Kenapa nama itu muncul sekarang?
Dan kenapa dia tahu aku sedang membaca seperti “mereka yang lenyap”?
Aku tidak tahu jawaban dari semua ini. Tapi satu hal pasti: ini bukan lagi soal surat-surat aneh atau kesalahan tata bahasa. Ini tentang jejak orang-orang yang hilang, yang mungkin mencoba bicara kepada kita dari tempat yang tak bisa kita jangkau.
Dan aku yakin, tanda baca itu adalah satu-satunya jalan untuk memahami mereka.
Sebelum aku ikut menjadi salah satu dari yang lenyap.
📚 Cerpen Ini Akan Bersambung: Episode 8 — Aku Pernah Ada di Foto Ini, Tapi Sekarang Tidak
.png)

Post a Comment
0 Comments