📫 Episode 6 – Tuhan, Aku Tidak Ingin Besok

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Jurnal

Tuhan, Aku Tidak Ingin Besok

13.17 – Bukan jam yang berhenti, tapi momen yang dipenjara.

Hari Rabu: Surat pertama muncul, tak ada nama pengirim. Hanya bau air hujan.

Hari Kamis: Tak pernah ada jawaban. Atau terlalu banyak jawaban untuk satu pertanyaan?

Nomor 9 duduk di kelas tapi tak pernah hadir. Nama tidak tercetak di daftar kelas. Tapi tasnya selalu ada.

Jam dinding berhenti, tapi detak jantung tidak. Siapa yang memerintah waktu untuk istirahat?

Jendela ruang 2-B. Setiap sore ada bekas tangan. Polanya seperti huruf, atau peta?

Besok. Kata paling menyeramkan di sekolah ini. Lebih kejam dari ulangan mendadak.

Tanda baca koma di surat-surat itu selalu di tempat yang salah. Tapi salah pada siapa?

Foto 2017. Ananta ada di tengah. 2020, dia hilang. Tapi tidak ada yang menyadarinya.

Lantai 3. Tidak pernah ada dalam denah resmi. Tapi Arga bilang, kadang ia dengar langkah.

Loker 14 = 2 x 7. Angka keramat? Lantai di depannya tak pernah bersih. Seolah menolak dilupakan.

Surat terakhir datang tanpa tinta. Tapi aku bisa membacanya. Karena aku ada saat hujan turun.

Tanggal-tanggal yang tidak sesuai kalender. Hujan di hari yang seharusnya kering. Apa yang sedang dicuci?

Perpustakaan kosong. Tapi ada halaman yang dibalik. Judul buku: Siapa yang Menulis Ulang Waktu?

Hari Kamis. Hari yang tidak pernah membalas. Karena ia sudah tahu akhir dari minggu.


Catatan terakhir, ditulis dengan tangan gemetar:

“Jika kamu membaca ini, berarti kamu masih punya waktu. Tapi waktu bukan untuk dipakai—waktu harus dipahami. Dan di sekolah ini, waktu tidak berjalan ke depan. Ia berjalan ke siapa yang mengingat.”

Aku terbangun dengan perasaan aneh di dada—seperti bangun di tempat yang bukan tempat tidurku. Jam di dinding menunjuk pukul 06.13. Hari masih gelap, terlalu gelap untuk ukuran pagi. Di luar jendela, langit seperti terbuat dari arang basah yang tak bisa dibakar.

Biasanya, sebelum ke sekolah aku sempat sarapan, bersiap, bercermin. Tapi pagi ini aku hanya berdiri begitu saja. Di cermin kamar, wajahku terlihat sedikit buram, bukan karena embun, tapi seperti... kabur dari ingatan.

Di meja belajar, ada surat. Bukan tulisan tanganku. Kertas usang dengan pinggiran menghitam dan tinta luntur. Aku tahu isi surat itu sebelum aku membacanya. Aku tahu karena aku yang menulisnya—besok.

"Ananta, jangan datang ke sekolah. Apa pun yang terjadi, jangan pergi. Jangan masuk kelas. Jangan duduk di kursimu. Jangan lihat jam. Jangan cari aku."

Aku menggenggam surat itu erat. Tapi bagaimana mungkin aku menulis surat dari masa depan?

Kupikir ini permainan pikiranku sendiri. Tapi saat aku masuk ke sekolah, semuanya terasa... melambat. Seperti waktu mengalir di balik kaca tebal. Semua suara terdengar dari kejauhan. Teman-teman seperti bayangan yang bergerak lambat dalam mimpiku.

Dan kemudian aku sadar—semua orang menghindar dariku.

Di kelas, bangku yang biasa kududuki kosong. Bukan hanya itu. Namaku juga tak ada di absen. Kertas ulangan yang dikembalikan guru juga tak memuat namaku. Lokerku kosong. Buku-bukuku hilang.

Aku bahkan tak lagi muncul di cermin toilet sekolah.

Aku panik. Lari ke ruang guru, mencoba bicara dengan Bu Rani. Tapi dia hanya melihatku sebentar, lalu berbisik ke Pak Sugab, “Ananta itu... sudah kan? Sudah nggak perlu disebut-sebut lagi, ya.”

Sudah?

Aku menabrak pintu, berlari ke lantai tiga. Lantai yang selama ini katanya ditutup untuk renovasi. Tapi lampu di sana menyala. Untuk pertama kalinya. Dan dari ujung lorong yang sunyi, aku melihatnya.

Seseorang berdiri membelakangiku. Rambutnya sebahu. Mengenakan seragam yang sama denganku. Ia membalikkan badan perlahan. Dan aku... melihat diriku sendiri.

Tapi bukan aku yang hari ini. Ia lebih pucat. Matanya bengkak. Di tangannya ada surat. Kertas yang sama seperti tadi pagi.

"Besok," katanya dengan suara yang nyaris tak terdengar, "besok aku akan memilih berhenti."

Aku ingin berlari, tapi kakiku menolak. Suara jam terdengar dari segala arah. Berdetak pelan, seperti menahan nafas.

"Aku sudah tahu semuanya," katanya. "Hari ini adalah terakhir kalinya aku bisa memperingatimu."

"Apa maksudmu?” tanyaku dengan suara pecah.

Ia tersenyum, bukan senyum lega, tapi senyum orang yang tahu bahwa tidak ada jalan keluar.

"Aku meninggal besok."

Kalimat itu tidak seperti bom. Tidak meledak. Ia masuk pelan-pelan, seperti air hujan yang merembes dari atap bocor. Tak terdengar, tapi lama-lama merendam segalanya.

"Tapi kamu di sini."

Ia menggeleng. “Aku yang di sini bukan kamu yang di sana. Kamu adalah kemungkinan. Aku adalah kenyataan yang sudah jadi. Dan kamu harus memilih. Apakah kamu akan menjadi aku. Atau menghilang.”

Aku tak bisa bernapas. Dunia berputar. Tanganku dingin. Suara lonceng berbunyi dari lantai bawah. Bel pulang. Tapi langkah kaki tak terdengar. Karena sekolah kosong. Karena tak ada yang datang hari ini. Karena ini bukan hari ini. Ini adalah kemarin. Atau esok. Atau keduanya.

"Jadi... semua ini mimpi?"

"Mimpi hanya jika kamu memutuskan bangun. Tapi jika kamu percaya, kamu bisa ubah alurnya. Kamu bisa tulis surat itu ulang. Kamu bisa bertahan."

Lalu ia—aku—meletakkan surat itu di lantai, dan berjalan menjauh. Menembus lorong. Menghilang.

Aku mengambil surat itu. Kali ini, tulisannya berubah. Hanya dua kalimat.

"Tuhan, aku tidak ingin besok. Tapi aku ingin tetap ada hari ini."

Malam itu aku tidak tidur. Aku menulis puluhan surat. Menulis pada langit. Pada Arga. Pada diriku sendiri. Pada semua siswa yang tak disebut namanya. Pada semua yang pernah merasa tidak ingin esok datang.

Dan besok pagi, untuk pertama kalinya, aku melihat diriku di cermin lagi.

📚 Cerpen Ini Akan Bersambung: Episode 7 — Tanda Baca yang Salah di Surat Itu

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.