Episode 5. Garis Tangan di Kaca Jendela - Surat-surat Tanpa Nama
📫 Surat-surat Tanpa Nama
Garis Tangan di Kaca Jendela
Langit sore itu seperti noda air yang ditumpahkan ke atas kertas. Abu-abu kebiruan yang berdenyut perlahan, seolah menyimpan sesuatu yang belum selesai. Udara di koridor lantai dua SMK Saka lengang, hanya terdengar suara detik jam yang menggema dari ruang guru. Aku berdiri sendirian di depan ruang kelas XI AK, menatap kaca jendela yang sudah lama retak di ujungnya.
Ada bekas tangan di sana. Bukan bercak besar atau coretan iseng dari siswa yang usil. Tapi sebuah tapak tangan kecil, samar, seperti bekas embun yang tertinggal. Lima jemari mungil, menempel tak bergerak, seperti berusaha memanggil seseorang dari seberang kaca.
Aku tak tahu kenapa aku memperhatikannya.
Minggu ini terasa ganjil. Sejak hari Senin, kelas kami selalu terasa lebih dingin dari biasanya. Bahkan kipas langit-langit pun tak berputar. Seolah ruang itu menarik suhu tubuh siapa pun yang duduk di dalamnya. Dan entah kenapa, setiap pukul 16.05 sore, garis tangan itu muncul. Selalu di jendela paling kiri, dan selalu tanpa suara.
"Aku rasa kita harus laporkan ini ke Bu Rani," kata Litha, temanku, tiga hari lalu. Tapi dia juga tak pernah benar-benar berani menyentuh kaca itu.
Aku, entah kenapa, justru semakin sering datang lebih lama ke kelas. Aku ingin tahu—apakah itu hanya kabut? Atau seseorang benar-benar meninggalkan jejaknya dari dalam? Tapi jendela itu tidak pernah terbuka. Bahkan terkunci.
Suatu sore, saat langit mulai memerah, aku memutuskan menunggu. Duduk diam di bangku paling belakang, tak menyalakan lampu kelas. Aku mengeluarkan buku catatan kecil dari tasku dan mulai menggambar ulang pola tangan itu. Kupelajari jarak antar jari, ukuran telapak. Itu bukan tangan siswa. Terlalu kecil. Seperti milik anak usia lima tahun.
Pukul 16.02, suara langkah kaki sayup terdengar dari koridor. Kupikir itu satpam, tapi suara itu berhenti tepat di depan jendela. Nafasku tertahan. Tak ada siapa pun di luar sana. Tapi dari dalam, aku melihat... bayangan.
Bayangan seorang anak kecil.
Tak jelas wajahnya. Hanya siluet mungil yang berdiri membelakangi cahaya. Ia menempelkan tangannya ke kaca. Jemarinya persis seperti yang kucatat. Aku ingin berteriak, tapi suaraku membeku. Anak itu menunduk, lalu menghilang begitu saja. Seakan larut bersama cahaya matahari yang tenggelam.
Keesokan harinya aku mencoba bertanya pada Pak Sugab, penjaga sekolah. Aku bilang jendela itu mungkin rusak atau ada anak kecil nyasar. Tapi dia hanya tersenyum tipis.
"Jendela itu? Sudah dua tahun nggak pernah dibuka. Dulu... pernah ada kejadian di situ. Tapi udahlah, mending kamu fokus belajar aja. Jangan terlalu lama di sekolah kalau udah sore."
Aku hampir memaksanya untuk bercerita lebih, tapi nada suaranya seperti pagar yang tak bisa kutembus. Aku kembali ke kelas, menatap jendela, dan untuk pertama kalinya, aku menempelkan tanganku ke kaca itu. Dingin. Tapi seolah ada hawa hangat dari sisi seberangnya. Aku menutup mataku sebentar, dan entah kenapa, aku merasa seperti... menyentuh seseorang.
Malamnya, aku bermimpi. Tentang ruang kelas yang dipenuhi embun, bangku-bangku kosong, dan suara langkah kecil yang berputar-putar. Seorang anak laki-laki berdiri di pojok ruangan, mengenakan seragam SD yang terlalu besar. Ia menatapku dan berkata, “Kakak tahu cara keluar dari sini?”
Aku ingin menjawab, tapi mimpiku runtuh seperti pasir.
Pagi berikutnya, aku menemukan sesuatu di laci mejaku. Sebuah kertas gambar, lusuh, dengan sketsa kasar seorang anak kecil berdiri di depan kaca. Di bawahnya ada tulisan tangan kecil, seperti dari anak-anak. “Aku kedinginan.”
Aku bertanya ke seluruh kelas, siapa yang menaruhnya. Tak ada yang mengaku. Bahkan Litha pun mulai menjauhiku. Katanya aku mulai aneh. Aku tak peduli. Aku mulai menyelidiki ruang arsip lama sekolah. Dibantu oleh Taraxacum, teknisi tua yang dikenal suka menyimpan hal-hal ganjil. Ia membiarkanku memeriksa berkas laporan sekolah dua tahun lalu. Dan di sanalah aku menemukannya.
Nama: Arga Pratama, umur 6 tahun.
Anak dari salah satu staf TU. Pernah dibawa ke sekolah saat libur semester karena tidak ada yang menjaga di rumah. Tanggal terakhir ia dicatat masuk sekolah: 13 Maret, tahun yang sama.
Laporan kehilangannya? Tidak pernah diajukan oleh pihak sekolah.
Catatan itu hanya ditulis tangan di margin dokumen TU: “Anak hilang saat bermain di sekitar ruang kelas XI AK. Pukul 16.05.”
Aku menutup map itu perlahan. Tanganku gemetar.
Malam itu aku menulis surat. Bukan kepada siapa pun. Hanya pada sosok yang mungkin masih bertahan di balik kaca itu. Aku menulis dengan rapi:
"Arga, kamu tidak sendiri. Aku akan tetap di sini sampai kamu bisa pulang. Aku janji."
Keesokan harinya, aku datang lebih awal. Meletakkan surat itu tepat di jendela, dan menunggu. Pukul 16.05, ia muncul lagi. Kali ini lebih jelas. Ia tersenyum kecil, matanya seperti ingin menangis. Ia menatap surat itu, lalu mengangguk pelan.
Dan untuk pertama kalinya, bekas tangan itu mulai memudar.
Aku tahu ini belum selesai. Tapi aku juga tahu, garis-garis tangan di kaca itu bukan sekadar bekas. Ia adalah jejak yang tertinggal dari seseorang yang ingin diingat. Yang menunggu dijemput dari tempat yang tak bisa dijelaskan.
Dan aku... aku akan jadi penjemputnya.
📚 Cerpen Ini Akan Bersambung dalam: Episode 6: Tuhan, Aku Tidak Ingin Besok
.png)

Post a Comment
0 Comments