Episode 4. Jam Dinding Berhenti di Pukul 13.17 - Surat-surat Tanpa Nama
📫 Surat-surat Tanpa Nama
Jam Dinding Berhenti di Pukul 13.17
Aku mulai sadar ada yang aneh sejak minggu lalu. Tepatnya hari Rabu, sepulang jam pelajaran terakhir, saat kelas mulai sepi dan matahari menyelinap lewat jendela paling timur, menimbulkan pantulan panjang di lantai keramik yang belum dipel sejak pagi.
Waktu itu aku sedang sendirian, menyalin catatan IPA dari papan tulis. Suara dari luar sudah menghilang, hanya kipas tua di langit-langit yang berdengung seperti suara nyamuk malas. Tapi yang menarik perhatianku bukan itu. Bukan juga suara gesekan kapur di papan hijau yang masih tersisa. Melainkan… jam dinding.
Jarum panjang dan pendeknya berhenti di angka yang sama: 13.17. Aku mengira baterainya habis. Tapi waktu itu aku tidak begitu peduli. Sampai hari berikutnya, dan hari berikutnya lagi… jam itu terus-terusan berhenti di waktu yang sama. 13.17.
Tidak 13.16. Tidak 13.18.
Aku sempat mencoba mengetuk kacanya. Tidak bergerak. Waktu di handphone-ku tetap bergulir seperti biasa, jadi aku kira itu cuma jam mati. Tapi anehnya, setiap kali aku mengintip ke atas jam itu pada hari-hari berbeda, selalu — selalu — saat angka digital di HP-ku menunjukkan 13.17, kelas seketika menjadi sunyi. Bukan sunyi seperti kelas yang ditinggal istirahat, tapi… lebih pekat. Udara seperti tertahan. Cahaya seolah memudar sedikit. Suara dari luar lenyap.
Lalu… aku merasa seperti seseorang sedang menatapku dari pojok kelas. Bangku nomor sembilan.
Bangku itu kosong sejak semester dua. Dulu, ada siswa pindahan yang duduk di situ — aku tidak begitu ingat namanya. Ia hanya hadir selama dua minggu, lalu tidak pernah muncul lagi. Entah dikeluarkan, entah pindah, entah... tidak ada yang pernah menjelaskan. Tidak ada yang pernah bertanya juga.
Tapi sekarang bangku itu... selalu tampak seperti baru diduduki seseorang. Sandarannya agak bergeser, dan meja di depannya sedikit condong. Pernah suatu sore, saat aku mendekat karena penasaran, aku menemukan selembar kertas terlipat di bawah meja itu. Tidak ada nama. Isinya hanya satu kalimat dengan tulisan seperti tergesa:
"Waktu berhenti saat kamu menyadari bahwa kamu sendirian."
Aku masih menyimpannya.
**
Hari Jumat, aku mencoba eksperimen kecil.
Aku menyuruh Gita, temanku, menungguku sebentar di kelas. Aku berpura-pura tertinggal pensil, padahal aku hanya ingin memastikan — apakah efek aneh itu terjadi kalau aku tidak sendirian?
Pukul 13.15 kami masih bercanda. Gita duduk di meja paling belakang, aku di dekat jendela. Ketika jam HP menunjukkan 13.17, aku melirik ke arah jam dinding.
Jarumnya diam. Lagi.
Aku menoleh ke arah Gita. Tapi... dia tak bergerak. Matanya tertuju ke arahku, tapi kosong, seperti manekin. Aku mendekat — memanggil namanya — dan dia tetap diam, napasnya tidak terdengar. Suara kipas pun hilang. Bahkan suara detak jantungku terasa... salah tempat. Tidak seharusnya terdengar sejelas ini.
Aku kembali menoleh ke bangku nomor sembilan.
Kali ini ada seseorang di sana. Seseorang yang duduk membelakangi cahaya, wajahnya tidak terlihat. Tapi aku tahu dia melihatku. Dia tahu aku sadar. Dan ia seperti menunggu aku bicara.
Tapi aku tak bisa.
Aku lari. Napasku memburu. Gita tidak bereaksi. Kelas tetap beku. Aku meraih pintu, memutar kenopnya, dan saat aku menarik daun pintu itu — semuanya kembali normal. Gita memanggilku dari dalam, “Kamu kenapa sih?”
Aku tidak menjawab. Aku hanya bilang, aku sakit perut.
**
Senin pagi, aku mencoba mengabaikannya. Tapi jam itu seperti menghantuiku. 13.17 adalah waktu yang tidak masuk akal — terlalu terlambat untuk jam pelajaran terakhir, terlalu awal untuk pulang. Waktu liminal. Batas.
Di perpustakaan, aku mencari buku-buku tua yang sudah berdebu. Aku tidak tahu apa yang kucari. Mungkin harapan bahwa ada orang lain yang pernah mengalami ini juga. Tapi hasilnya nihil. Hanya halaman-halaman kusam dengan catatan kaki yang tak kupahami.
Lalu, aku bertemu Pak Damar — guru Bahasa yang juga suka hal-hal ganjil.
Waktu istirahat aku mendekatinya di ruang guru. Kukatakan, "Pak, pernah nggak sih... merasa waktu itu bisa berhenti sebentar?"
Dia menatapku. Lama.
Lalu menjawab, “Kamu duduk di kelas 11-E, kan? Di bangku paling kanan dekat jendela?”
Aku mengangguk.
Dia menunduk sejenak. Lalu berkata pelan, “Jam itu memang rusak. Tapi bukan karena baterainya.”
**
Hari Rabu, aku nekat.
Aku menunggu sampai 13.17 dengan sengaja. Kali ini aku duduk di bangku nomor sembilan. Di atas meja ada bekas goresan kecil — inisial nama yang nyaris hilang: R.K.
Aku tidak tahu siapa R.K. Tapi saat waktu itu datang… dunia membeku lagi. Dan kali ini, seseorang duduk di depanku.
Wajahnya pucat. Rambutnya acak-acakan seperti baru bangun tidur. Ia mengenakan seragam seperti kami, tapi warnanya agak pudar, seolah terendam hujan. Tangannya gemetar, dan matanya... kosong.
Ia menyodorkan sesuatu padaku. Sepucuk surat.
Tanganku meraihnya pelan. Tapi sebelum aku sempat membacanya — dunia mulai bergerak lagi. Waktu menyala. Suara masuk. Kipas berputar.
Dan surat itu menghilang dari tanganku.
**
Aku tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi. Tapi aku yakin, sesuatu — seseorang — terjebak dalam waktu 13.17.
Semenjak hari itu, aku selalu membawa buku catatan kecil. Setiap pukul 13.17, aku menuliskan apa yang kulihat. Kadang hanya suara langkah. Kadang ada suara pintu dibuka. Kadang bau sesuatu yang terbakar.
Kadang… suara seseorang yang berkata pelan, “Jangan lupa aku ada.”
Aku belum tahu siapa dia. Tapi aku tahu aku tidak sendirian.
Dan mungkin… waktu tidak benar-benar berjalan lurus di Saka. Kadang ia berhenti sebentar. Kadang ia memberi ruang. Untuk mengingat. Atau untuk sesuatu yang ingin dikenang.
**
Cerita ini belum selesai. Masih ada surat yang belum dibaca. Masih ada waktu yang belum kembali. Dan aku — Ananta — akan terus menuliskannya. Selama jam itu belum bergerak dari pukul 13.17.
📚 Catatan: Cerpen ini merupakan bagian dari seri "Surat-surat Tanpa Nama". Nantikan episode selanjutnya: Garis Tangan di Kaca Jendela.
.png)

Post a Comment
0 Comments