Episode 3. Ia Duduk di Bangku Nomor 9, Tapi Tak Pernah Hadir - Surat-surat Tanpa Nama
📫 Surat-surat Tanpa Nama
Episode 3 – Ia Duduk di Bangku Nomor 9, Tapi Tak Pernah Hadir
Bangku nomor 9 di kelas X-B selalu kosong. Tapi setiap pagi, saat absensi dibacakan, nama itu tetap disebut.
“Damar Seno Dirgantara,” ucap Pak Surya, seperti biasa. Tak ada yang menjawab. Tak pernah ada yang menjawab. Lalu beliau melanjutkan ke nama berikutnya tanpa komentar, tanpa menoleh, tanpa heran.
Sebagai murid yang duduk di bangku nomor 10, aku nyaris bersandar pada meja kosong itu. Setiap hari. Aku tahu meja itu tak pernah dipakai, tapi juga tak pernah berdebu. Kursinya sedikit bergeser ke kanan, seolah seseorang yang duduk di sana punya kebiasaan buruk: terlalu dekat ke pinggir. Ada bekas coretan kecil di sisi dalam meja. Tiga huruf: S.D.N. Ditulis pakai pensil, terlalu dalam hingga menembus lapisan kayu.
Awalnya aku tak peduli. Di sekolah ini, hal-hal kecil yang ganjil semacam itu bukan hal baru. Dinding bisa mengelupas hanya di sisi tertentu, ubin bisa terasa lebih dingin saat melintasi area tangga lantai dua, dan kadang, kau bisa mendengar suara seseorang memanggil namamu dari ruangan yang jelas-jelas kosong.
Tapi bangku nomor 9... lain.
Namanya selalu disebut. Tidak pernah dihapus. Tidak pernah dijelaskan. Dan tidak ada satu pun guru yang menganggap itu aneh.
“Siapa Damar?” tanyaku pada Dini, teman sebangkuku, suatu pagi.
Dini mengangkat bahu. “Nggak tahu. Mungkin siswa yang nggak jadi masuk.”
“Tapi kok masih dipanggil terus?”
“Yah… siapa tahu datanya belum dihapus.”
Tapi aku tahu Pak Surya bukan orang yang pelupa. Ia pernah menghukum satu kelas hanya karena kami tidak menyapu daun di lorong belakang. Ia tahu nama kami, alamat rumah, bahkan tahu siapa yang pernah bolos tiga bulan lalu dan pura-pura sakit hari ini.
Tapi dia tak pernah menjelaskan siapa Damar.
Sore itu kelas kosong lebih cepat dari biasa. Jam pelajaran terakhir kosong, dan hujan turun rintik-rintik. Aku sengaja tinggal lebih lama. Membuka-buka buku, mencoret catatan, memperpanjang waktu pulang hanya karena tak ingin langsung pulang ke rumah yang sepi.
Saat aku berdiri untuk menutup jendela, aku melihatnya.
Seseorang duduk di bangku nomor 9. Rambutnya pendek, rapi, dan ia mengenakan seragam yang sama seperti kami—tapi warnanya lebih pudar, seperti sudah sering dicuci atau terkena matahari terlalu lama. Ia duduk membungkuk, memperhatikan sesuatu di meja. Buku, mungkin. Tangan kirinya memegang pena, tangan kanan menutup lembaran halaman.
Ia tak menoleh.
Aku ingin bertanya, siapa kamu? Tapi suara tercekat di tenggorokan. Rasanya tubuhku tertahan di tengah gerakan. Lalu, detik berikutnya, angin masuk dari celah jendela dan tirai melambai seperti melambai pada seseorang.
Dan ia… hilang.
Bukan pergi. Bukan berjalan. Tapi lenyap—seperti gambar yang dihapus pelan dari papan tulis.
Malamnya aku tidak bisa tidur. Di kepalaku, sosok itu terus muncul. Aku ingat wajahnya samar-samar. Seperti bayangan teman lama yang pernah duduk sebangku, tapi kau lupa nama lengkapnya. Ada rasa akrab, dan ada rasa kehilangan yang datang tanpa alasan.
Mimpi pun ikut aneh malam itu. Aku duduk di kelas, semua bangku terisi, semua orang memandangi papan tulis yang kosong. Dan Damar—aku tahu itu dia—menoleh ke arahku dan berkata:
“Jangan biarkan orang lupa.”
Hari-hari berikutnya, aku mulai mencatat hal-hal kecil. Meja nomor 9 selalu bersih. Kadang, ada lipatan kertas kecil di bawahnya, kosong. Kadang ada bekas bekas goresan yang muncul dan menghilang. Tidak ada yang lain yang peduli. Tidak ada yang melihat apa yang aku lihat.
Aku mencoba bertanya pada guru piket. Mereka hanya tertawa. “Oh, itu data lama. Mungkin belum dibersihkan dari sistem.” Tapi kenapa nama itu masih terus dipanggil?
Akhirnya aku mencari ke perpustakaan. Di ruang arsip lama. Dengan alasan mengerjakan tugas sejarah sekolah, aku meminta bantuan Bu Santi untuk melihat daftar siswa tiga tahun terakhir.
Dan di sana namanya tertulis.
Damar Seno Dirgantara. Masuk: Juli. Wafat: Agustus.
Hanya itu. Tanpa penjelasan.
Aku mengecek berita sekolah. Hanya satu paragraf di buletin dinding tahun lalu: “Telah berpulang siswa baru kelas X-B akibat kecelakaan di depan gerbang sekolah. Semoga amal ibadah almarhum diterima.”
Aku tidak menangis. Aku juga tidak takut. Yang aku rasakan adalah rasa ingin tahu yang akhirnya berubah menjadi rasa bertanggung jawab. Ia duduk di bangku nomor 9. Ia hanya sempat sekolah dua minggu. Dan setelah itu, tidak ada yang benar-benar mengenangnya.
Mungkin itu sebabnya ia tetap duduk di sana.
Mungkin itu sebabnya namanya tetap dipanggil.
Dan mungkin—aku bukan sekadar kebetulan duduk di sebelahnya.
Seminggu kemudian, saat absen dibacakan, Pak Surya berhenti sebentar setelah menyebut “Damar Seno Dirgantara.” Beliau menatap ke arah bangku nomor 9. Lalu, perlahan, melanjutkan absen seperti biasa.
Sore harinya, di sela-sela remang cahaya yang masuk dari jendela, aku menulis satu kalimat di bawah meja itu, di dekat coretan “S.D.N.”:
Kami belum lupa.
Esoknya, tulisan itu sudah hilang. Tapi aku tahu, ia membacanya.
Aku tidak pernah melihatnya lagi secara langsung. Tapi tiap kali angin masuk dari jendela dan membuat kertas-kertasku beterbangan hanya di area bangku 9 dan 10, aku tersenyum kecil.
Seseorang masih duduk di sana.
Seseorang yang pernah ada, dan sedang menunggu untuk dikenang.
Malam itu, sepulang sekolah, aku menemukan sepucuk surat di dalam tas—padahal aku yakin belum pernah menaruh apa pun. Surat itu hanya berisi satu kalimat:
“Lain kali, jangan duduk terlalu lama setelah bel terakhir.”
Tanpa tanda tangan. Tanpa tinta. Tapi tulisannya ada. Muncul samar saat kertas terkena embun jendela kamarku.
Dan entah kenapa, aku merasa… itu bukan peringatan.
Itu sapaan.
✍️ Catatan Penulis:
Mungkin beberapa bangku memang tidak pernah benar-benar kosong. Mereka hanya menunggu untuk diingat.
.png)

Post a Comment
0 Comments