📫 Episode 2 – Hari Kamis Tidak Pernah Membalas

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Emosional

Episode 2 – Hari Kamis Tidak Pernah Membalas

(Cerpen Bersambung: Surat-surat Tanpa Nama)

Kadang hari hanya lewat. Tapi Kamis adalah hari yang diam, menahan jawabannya sendiri.

Hari Kamis tak pernah menjawab suratku.

Setelah tiga surat di hari Rabu yang terasa seperti pesan dari dimensi lain, aku mulai menulis balasan. Kadang hanya sebaris. Kadang dua halaman penuh. Tapi Kamis selalu menutup diri, seperti tembok di ujung lorong yang tak pernah berubah.

Pagi ini aku datang lebih awal dari biasanya. Lorong sekolah masih kosong, hanya ada suara pel mop di ujung koridor dan radio kecil yang menyala samar di ruang satpam. Waktu seperti melambat setiap hari Kamis. Jam dinding tetap berdetak, tapi udara seolah membeku.

Aku membuka loker dengan harapan kosong—dan benar, tak ada surat.

Aku tahu seharusnya tidak berharap terlalu banyak. Tapi rasa penasaran sudah menjadi semacam kebiasaan. Aku tak lagi membuka loker hanya untuk mengambil buku, tapi untuk menunggu sesuatu. Seseorang. Sebuah isyarat.

Surat terakhir menyelamatkanku dari kecelakaan. Bukan hanya secara fisik. Tapi juga secara emosional. Aku merasa dilihat. Dikenali. Diberi alasan untuk percaya bahwa aku tidak sepenuhnya sendiri.

Aku menulis surat baru, dan kali ini tidak kulipat. Kubiarkan terbuka, sengaja. Agar siapa pun yang mungkin lewat bisa membacanya.

“Halo. Aku ingin tahu siapa kamu. Bukan untuk membongkar rahasia, hanya untuk memahami. Karena setiap kalimatmu terasa seperti sesuatu yang kukatakan pada diriku sendiri, tapi lebih berani.

Kalau kamu membaca ini, beri aku satu petunjuk. Satu kata pun cukup.”

Kutempelkan surat itu di bagian dalam pintu loker. Kubiarkan terbuka sebentar sebelum menutupnya lagi.

Hari Kamis berjalan pelan. Cuaca mendung. Guruku mengajar dengan suara datar, seolah membaca naskah yang tak pernah berubah selama bertahun-tahun. Di luar jendela, angin menggoyangkan pohon jambu air yang tak pernah berbuah.

Di perpustakaan, aku duduk di pojok, seperti sudah menjadi kebiasaaan. Rak sastra klasik berdiri sunyi seperti pendeta tua. Aku membuka buku kumpulan cerpen yang tidak pernah selesai kubaca, hanya karena ingin tahu apakah kali ini aku akan menemukan sesuatu yang berbeda.

Tapi halaman demi halaman, aku hanya menemukan gema—bukan jawaban.

Setelah jam terakhir, aku berjalan menyusuri lorong. Teman-temanku sudah pulang. Beberapa tertawa di depan gerbang, yang lain sibuk dengan ponsel mereka. Aku membuka loker, jantungku berdegup lebih cepat.

Masih kosong.

Surat yang kutempel tadi pagi masih di tempatnya, tak tersentuh.

Tapi ada sesuatu yang berubah. Di bagian bawah lokerku, ada bulu burung. Kecil. Hitam pekat. Seperti patah karena hujan.

Aku menatapnya lama. Menyentuhnya. Tidak ada pesan. Tidak ada penanda. Tapi entah kenapa, itu terasa seperti jawaban.

Malam harinya aku tak bisa tidur. Suara di kepalaku terlalu ramai. Aku membuka kembali buku harian lama yang sudah lama kusimpan di bawah ranjang. Halaman pertamanya adalah tulisan kakakku:

“Untuk kamu, agar selalu punya tempat pulang meski di dalam kepala sendiri.”

Kakakku pergi ke luar negeri dua tahun lalu. Tidak ada perpisahan dramatis. Tidak ada air mata. Tapi kepergiannya membuat suara-suara di rumah hilang satu per satu. Ibu lebih sering mengurung diri di kamar. Ayah sibuk lembur, dan hanya pulang untuk tidur.

Aku mulai menulis lebih banyak setelah itu. Bukan karena ingin jadi penulis. Tapi karena aku tak punya siapa-siapa untuk mendengarkan. Kata-kata menjadi semacam saksi diam.

Malam itu aku menulis surat panjang, tidak kutujukan ke siapa pun. Hanya kalimat-kalimat tanpa penutup:

Kenapa hari Kamis terasa seperti ruang tunggu yang tak pernah selesai?

Apa kau juga merasa waktu lebih dingin pada hari-hari tertentu?

Aku ingin percaya ini semua nyata. Tapi kalau pun tidak, tolong tetap tulis sesuatu. Aku akan tetap membaca.

Keesokan paginya, hari Jumat, aku tidak membuka loker. Entah kenapa aku takut. Bukan takut pada isi surat, tapi takut tidak ada apa-apa.

Di kelas, aku mendengar dua siswa berbicara soal loker mereka yang dibuka orang lain. Salah satu dari mereka kehilangan gantungan kunci. Yang lain bilang melihat sosok bayangan di lorong belakang, dekat ruang seni.

Aku tidak bilang apa-apa.

Hari Sabtu dan Minggu berlalu lambat. Aku mulai menyusun kronologi. Aku tulis di kertas: kapan surat datang, apa isinya, dan apa yang terjadi setelahnya. Ada pola, tapi tidak bisa kutafsirkan.

Selalu Rabu. Selalu hal yang menyelamatkan. Tapi tak pernah ada pengulangan. Tak ada balasan dari Kamis. Tak ada tanda apa pun dari hari lain.

Di catatan itu, aku mulai menulis sebuah pertanyaan:

Mungkinkah kamu adalah aku, dari masa depan?
Mungkinkah ini semua hanya cermin yang memantulkan sesuatu yang akan terjadi?

Senin pagi, aku kembali membuka loker. Di balik buku matematika yang jarang kugunakan, ada lipatan kertas kecil. Sangat kecil, seperti origami. Kupastikan tak ada yang memperhatikanku saat kubuka.

Satu kalimat. Tulisan tangan yang sama. Miring, rapi, dan asing:

Hari Kamis adalah hari yang tidak bisa dikirimkan. Karena itu ia diam.

Aku menatap kalimat itu lama, sampai bel masuk berbunyi. Lalu kulipat kembali dan kusimpan di saku kemeja.

Hari-hari setelah itu tetap berlalu. Tapi aku mulai menulis lebih banyak. Tidak lagi untuk mencari jawaban, tapi untuk menjaga sesuatu tetap hidup. Entah siapa, entah apa.

Lorong sekolah tetap sunyi. Daun-daun tetap jatuh. Waktu tetap berlari, tanpa permisi. Tapi sekarang, aku tidak hanya menjadi penonton.

Aku sedang menunggu hari Rabu berikutnya.

Karena Kamis mungkin tidak pernah membalas.
Tapi Rabu selalu punya cara untuk kembali.

✍️ Catatan Penulis:

Dalam sunyi, barangkali yang paling jujur bukan suara, tapi jeda. Dan Kamis adalah jeda yang belum selesai dijawab.

(Bersambung ke Episode 3: “Jumat Adalah Sebuah Tanda Tanya”)

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.