📫 Surat dari Hari Rabu — Surat-surat Tanpa Nama

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Emosional

Episode 1 – Surat dari Hari Rabu

(Cerpen Bersambung: Surat-surat Tanpa Nama)

Aku menemukan surat pertama di loker pada hari Rabu.

Waktu itu hujan, udara terasa sejuk, jam dinding di lorong utama menunjukkan pukul 14.06, dan aku baru saja lupa membawa payung. Itu hari yang aneh untuk menjadi hari biasa.

Suratnya tidak beramplop. Terlipat rapi seperti kertas absen yang tertinggal. Tidak ada nama pengirim, tidak ada alamat. Hanya tulisan tangan kecil yang tipis dan agak condong ke kiri, seperti sedang terburu-buru, tapi tetap rapi.

“Kamu akan melupakan sesuatu hari ini. Tapi itu bukan hal yang bisa dicari kembali. Hati-hati pulang nanti.

Aku kira itu semacam candaan. Atau coretan tugas. Tapi tidak ada yang mengaku menaruhnya di lokerku. Dan yang lebih aneh, aku memang lupa membawa dompet sore itu. Dan di tengah perjalanan pulang, aku baru sadar seseorang mengikutiku dari halte.

Aku tidak berani menoleh. Aku hanya mempercepat langkah, dan memasukkan kedua tangan ke saku jaket. Wajahku terlihat cemas saat akhirnya aku berlari kecil di tikungan menuju rumah, dan kemudian langkah itu menghilang.

Keesokan harinya, Kamis, aku menyelipkan secarik balasan.

“Siapa kamu?”

Surat itu tidak pernah dijawab. Dan tidak ada surat baru hari Kamis.

Hari Jumat, Sabtu, dan Senin pun kosong. Tidak ada apa-apa di loker, kecuali buku biologi yang tetap berat dan lembar tugas sejarah yang masih belum kukerjakan.

Hingga Rabu berikutnya, surat itu kembali.

“Kamu belum tidur semalam, kamu terlalu cemas memikirkan segala sesuatu dan kau bangun dengan rasa hampa di tengkuk. Hari ini kamu akan melihat langit, tapi tak ingat warnanya. Jangan duduk di bangku ketiga dari belakang, sisi dekat jendela. Tolong percaya padaku.”

"Siapa kamu, sebenarnya?" bisikku pada udara lorong sekolah.

Tak ada yang menjawab. Tapi aku tidak duduk di bangku itu hari itu.

Dan saat istirahat, salah satu siswi dari kelas lain terjatuh karena kursi di dekat jendela itu tiba-tiba patah. Kursi itu—kursi yang seharusnya kududuki—mengalami retak di kaki belakangnya. Katanya, bekas rayap.

Lorong sekolah kami panjang, sempit, dan bau kapur tulis yang tidak sepenuhnya hilang meski sudah diganti whiteboard. Jendela-jendela besar menghadap taman kecil yang sepi, tapi siapa pun tahu tidak ada yang betah berlama-lama di sana. Banyak bunga bermekaran di taman sekolah, namun tak satupun yang membuat betah dan menenangkan pikiran.

Ada sesuatu di lorong sekolah kami yang terasa…. diam tapi tidak kosong. Seperti napas yang ditahan, menunggu sesuatu terjadi. Seperti sesuatu yang sedang tertidur dan siap untuk dibangunkan. Seperti malam yang memiliki kisahnya sendiri. Kadang-kadang aku merasa ada yang memperhatikanku dari ruang guru kosong, bahkan aku pernah merasa ada orang dibelakangku padahal hanya ada aku seorang atau dari balik tirai ruang UKS. Tapi setiap kutoleh, tidak ada siapa-siapa.

Lokerku berada di deretan keempat dari pintu masuk, loker nomor 14.

Angka yang bahkan tidak pernah kupilih sendiri. Aku tidak percaya angka sial. Tapi sejak surat-surat itu datang, aku mulai menghitung hari, menghitung angka. Menjadi lebih peka terhadap kehadiran dan kehilangan. Aku jadi mudah mendengar detak jarum jam, langkah kaki tak dikenal, atau daun kering yang terinjak di halaman belakang.

Sungguh hal yang membosankan Ketika kita harus berteman dengan kesunyian, dan mencoba merespon semua itu seperti keseharian hidup.

Rabu ketiga datang dengan diam-diam.

Aku membuka loker lebih cepat dari biasanya. Suratnya ada di sana, kali ini dengan lipatan berbentuk segitiga. Tulisan di dalamnya lebih panjang, dan berbeda dari dua sebelumnya.

“Aku bukan hantu. Aku bukan orang yang kamu kenal, setidaknya belum. Tapi aku tahu kamu sering merasa kosong sejak kakakmu pergi. Aku tahu kamu benci hari Minggu karena rumahmu terlalu sunyi. Dan aku tahu kamu mulai merasa tidak nyata ketika bercermin.

“Hari ini kamu tidak boleh naik angkot jurusan 02 jam 15.30. Duduklah di perpustakaan sampai jam empat. Baca buku puisi. Biarkan waktu lewat. Tolong percayai aku, sekali ini saja.”

Tanganku gemetar. Tidak ada yang tahu soal kakakku. Tidak ada yang tahu aku pernah berpikir aku hanya refleksi yang tertinggal di kaca kamar mandi. Tidak ada yang tahu aku mulai merasa samar setiap kali menatap pantulan sendiri. “sial banget, ada orang yang mengetahui siapa diriku daripada diriku sendiri.” Gerutuku dalam kepala.

Dan aku hampir saja naik angkot itu. Hampir saja.

Pada malam hari, kulihat berita lokal: angkot 02 ditabrak truk dari arah berlawanan. Dua penumpang luka berat. Nama-nama tidak disebutkan. Tapi jam kejadian persis seperti di surat.

Aku memeluk diriku sendiri.

Di kamar, aku mencoba menulis balasan. Tapi entah kenapa, surat itu tidak pernah kutemukan keesokan harinya.

Surat keempat belum datang.

Tapi setiap Rabu kini terasa seperti detak jantung yang lebih keras dari biasanya.

Seperti dunia menunggu aku membuka loker itu.

Seperti ada seseorang, di suatu tempat yang tidak kumengerti, menulis untuk menyelamatkanku—satu minggu sekali.

Dan dalam diamku sendiri, aku mulai percaya: mungkin ada yang peduli, bahkan jika tak bisa kulihat wujudnya. Dan mungkin dia jauh peduli dari kakaku.

✍️ Catatan Penulis:

Mungkin beberapa pesan tidak untuk dijawab. Hanya untuk diterima, dan perlahan mengubah kita.

Dukung kelanjutan seri ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk keberlanjutan karya.