📫 Episode 15 – Kebenaran Tentang Hari Kamis

📫 Surat-surat Tanpa Nama

Cerpen bersambung · Misteri · Penutup Seri Utama

Kebenaran Tentang Hari Kamis

Langit sekolah Saka tampak lebih pucat dari biasanya, seperti lembaran surat yang tak jadi ditulis. Ananta berdiri di koridor lantai dua, di depan jendela yang menghadap lapangan basket kosong. Sore ini tidak ada hujan, tidak ada langkah kaki, bahkan tidak ada suara bel masuk.

Ia menyentuh kaca jendela yang berembun meski seharusnya tidak. Bekas tangan itu masih ada. Sama seperti kemarin. Sama seperti minggu lalu. Sama seperti—ia tidak lagi yakin hari apa.

Tangannya menggenggam sesuatu. Kertas tua yang mulai rapuh. Surat itu. Yang terakhir. Tanpa tinta.

Ia menarik napas perlahan, mengingat satu per satu.

Bangku nomor 9.
Jam 13.17.
Loker nomor 14.
Tangga ke lantai tiga yang gelap dan berdebu.
Seseorang yang membaca di perpustakaan terkunci.
Surat yang selalu salah tanda baca.
Dan Kamis.
Hari Kamis yang tidak pernah menjawab.

Ananta berjalan menyusuri lorong. Sepatunya bergesek di lantai yang lengket, belum pernah dipel. Tak ada siswa lain. Tak ada guru. Tak ada waktu.

Ia sampai di depan ruang guru lama—yang katanya sudah dikunci sejak renovasi pertama.

Namun pintunya terbuka sore ini.

Di dalam, seseorang duduk. Pria tua dengan seragam teknisi yang lusuh, sedang membersihkan pena-pena yang tak lagi menulis. Di sudut meja ada mug teh yang mengepul pelan, meski udara di ruangan ini beku.

“Ananta,” kata pria itu tanpa menoleh.

“Kenapa semua ini terjadi?” tanyanya. Suaranya tidak bergetar. Ia tidak ingin jawaban yang manis. Ia ingin pengakuan.

Pria itu mengangkat wajah. “Karena kamu terus menulis surat ke hari yang sudah mati.”

Ananta diam. Kalimat itu masuk seperti cahaya yang mendadak terlalu terang.

“Kamu tidak pernah mengirim surat itu untuk dibalas,” lanjut pria itu, “kamu mengirimnya agar kamu sendiri lupa bahwa kamu pernah menulisnya.”

Ia berjalan ke arah meja. Jarak antara mereka hanya beberapa langkah, tapi terasa seperti menyeberangi ulang tahun yang tak pernah dirayakan.

“Jadi benar... semua yang aku lihat? Yang aku dengar?”

“Benar.” Pria itu menunjuk tumpukan kertas di rak belakang. Ada bekas-bekas tulisan. Sebagian tercoret. Sebagian robek. Sebagian tidak pernah terbaca.

“Dan semuanya... tentang aku?”

Pria itu mengangguk. “Kamu menulis semuanya. Hari Rabu. Kamis. Jumat. Semua. Karena kamu takut akan hari Sabtu. Hari ketika kamu benar-benar pergi.”

Ananta menunduk. Ia tidak tahu air mata bisa jatuh bahkan saat dirinya merasa sudah kosong. Tapi saat itu juga ia tahu. Kamis adalah hari terakhir ia merasa diingat.

“Kalau begitu... kenapa sekarang aku mengingat semuanya?”

Karena kamu memilih untuk tidak mengulang, pikirnya. Tapi bukan pria tua itu yang menjawab.

Melainkan dirinya sendiri.

Karena aku sudah cukup lelah menyamar jadi orang yang tidak pernah ditinggalkan.

Ananta duduk. Untuk pertama kalinya, bukan untuk menunggu surat, atau membuka loker, atau menunggu jam berhenti.

Ia duduk untuk menulis sesuatu yang tidak perlu dikirim.

Kepada diriku sendiri,

Hari Kamis tidak pernah membalas suratmu.
Karena Hari Kamis adalah saat dunia berhenti mengingatmu.
Tapi bukan karena mereka jahat.

Karena kamu sendiri memutuskan untuk menghilang.
Karena terlalu sakit untuk diingat.
Karena terlalu hening untuk dijelaskan.

Hari ini aku berhenti menunggu balasan.
Aku berhenti menyalahkan hari-hari yang tidak bersuara.

Hari ini aku menulis bukan untuk dilupakan,
tapi agar aku tahu bahwa aku pernah ada.

Meski hanya di bangku nomor 9.
Meski hanya jam 13.17.
Meski hanya di surat yang tak terbaca.

Ananta keluar dari ruangan itu. Lorong tetap kosong. Tapi langkahnya tidak.

Langkahnya ada bunyi.
Langkahnya ada tujuan.

Di tangannya, surat terakhir itu tetap kosong.

Tapi untuk pertama kalinya, Ananta tidak membacanya.

Ia hanya menggenggamnya, erat.
Dan membiarkannya ikut hidup dalam dirinya.

Hari Kamis akhirnya menjawab.
Tapi jawabannya…
…hanya bisa didengar oleh mereka yang sudah siap mengingat.

(Tamat untuk seri utama: Surat-surat Tanpa Nama)
Dukung kelanjutan karya ini melalui donasi DANA:
6285775279438
Terima kasih atas dukunganmu — sangat berarti untuk perjalanan karya berikutnya.