Puisi
Ketika Kursi Menjadi Takhta | Kitab Kabut dan Senja
Ketika Kursi Menjadi Takhta
Ia duduk tenang,  
seolah kursi sederhana itu menjadi takhta  
bagi segala rahasia yang enggan dibocorkan dunia.  
Tangannya terlipat,  
bukan karena lelah,  
melainkan seperti sedang menjaga sesuatu  
yang tak boleh jatuh, tak boleh hilang.  
Ada cahaya yang lebih lembut di wajahnya—  
bukan cahaya sore,  
melainkan cahaya dari dalam,  
cahaya yang lahir dari luka yang sudah ia jinakkan  
dan dari harapan yang masih ia peluk diam-diam.  
Senyumnya tipis,  
nyaris tak bergerak,  
namun cukup untuk menggoyahkan apa pun yang rapuh dalam dada.  
Senyum itu bukan undangan, bukan pula penolakan—  
ia hanyalah jeda,  
sebuah ruang hening yang memaksa siapa saja  
untuk menatap lebih dalam pada diri sendiri.  
Di hadapannya,  
waktu tak lagi berlari.  
Ia membuat jam berdetak dengan cara lain:  
pelan, berlapis, dan penuh gema.  
Dan aku tahu,  
jika ia terus tersenyum seperti itu,  
maka seluruh yang kita sebut kekuatan  
akan runtuh tanpa peringatan,  
menyisakan kita hanya dengan satu pertanyaan:  
berapa lama lagi kita sanggup berpura-pura?  
  
  
  Daftar Isi
  💜 Dukung karya ini:
Kirim Donasi.png)

Post a Comment
0 Comments